|
|
|
|
|
|

|
This Week
|
2807 |
This Month
|
31985 |
Total
|
3287825 |
|
|
|
Berita dan Publikasi |
Mempertegas Komitmen Bank BPD DIY ke UMKM |
Sumber: SKH Kedaulatan Rakyat |
YOGYA (KR) - DALAM memperingati usianya yang ke-47, Bank BPD DIY dihadapkan pada pertanyaan besar, masihkah ia mampu memperteguh konsistensinya sebagai bank-nya "wong cilik"? Masihkah Bank BPD DIY memiliki komitmen untuk tidak bergeser pada prioritasnya dalam memberikan kredit/pembiayaan pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)?
Pertanyaan tersebut terasa wajib dikedepankan sebagai "gugatan" atas visi yang diembannya. Sesuai visinya, Bank BPD DIY memiliki kehendak besar untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan masyarakat, khususnya di DIY akan jasa perbankan, terutama kredit skala kecil dan menengah, serta mendorong program pemberdayaan perekonomian daerah.
Jika dilihat dari data kinerja keuangan terakhir, Bank BPD DIY memiliki perkembangan kinerja yang baik. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan aset, penghimpunan dana, penyaluran kredit, perkembangan laba, dan indikator keuangan lainnya, yang selalu menunjukkan perkembangan memuaskan.
Memasuki usianya yang ke 47 ini, Bank BPD DIY telah membukukan aset sebesar Rp 3,336 triliun (posisi Oktober 2008), atau mengalami peningkatan sebesar 6,14% jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2007 yang memiliki aset Rp 3,143 triliun. Sedangkan kredit yang disalurkan mencapai Rp 1,625 triliun (posisi Oktober 2008), atau mengalami peningkatan sebesar 16,65% jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2007 yang mencapai Rp 1,393 triliun. Dari jumlah kredit yang disalurkan tersebut, sebesar 98,12% di antaranya disalurkan ke sektor UMKM.
Dari capaian angka tersebut, sejauh ini bank telah berhasil memprioritaskan penyaluran kreditnya kepada sektor UMKM. Namun demikian, perlu dilihat apakah kredit lebih banyak disalurkan kepada sektor konsumsi atau produksi. Walaupun kredit sektor konsumsi secara langsung dapat menggerakkan sektor produksi, namun pembiayaan sektor produksi mempunyai multiplier effect yang besar bagi perekonomian dibandingkan sektor konsumsi.
Belakangan, Bank BPD DIY mendapat tantangan baru. Kredit mikro diperkirakan akan kembali marak pada tahun 2009, setelah dalam beberapa tahun terakhir banyak bank melakukan ekspansi besar-besaran ke sektor korporasi. Namun sejarah berulang, krisis keuangan global telah membuat sektor korporasi kehilangan daya tarik. Hal inilah yang membuat sektor UMKM kembali dilirik untuk digarap oleh industri perbankan.
Apalagi, sektor ini terbukti tangguh saat menghadapi badai krisis tahun 1998 silam. Bank-bank besar akan menyemarakkan pasar kredit mikro pada tahun 2009. Ceruk pasar yang masih terbuka lebar ditambah tingkat risiko yang terbilang rendah menjadi magnet dan daya tarik tersendiri bagi dunia perbankan. Itulah sebabnya, bank-bank skala besar justru berlomba-lomba masuk hingga pelosok desa. Dalam menyikapi fenomena ekspansi pembiayaan yang dilakukan bank-bank besar kepada sektor UMKM, perlu disadari terlebih dahulu bahwa bank BPD DIY sebenarnya memiliki keunggulan bersaing dibandingkan bank lain. Sebagai bank lokal dan asli Yogya, Bank BPD DIY dianggap lebih mengenal kultur masyarakat Yogyakarta. Sampai saat ini, budaya masyarakat Indonesia harus diakui masih memperhatikan nilai-nilai kultural seperti sektor emosi kedaerahan dan nilai-nilai historis.
Adanya idiom kedaerahan tersebut sebenarnya masih dapat "dijual" sebagai faktor keunggulan bersaing. Namun demikian, yang bisa dikedepankan kepada nasabah bukan sekadar berhenti menonjolkan simbol-simbol kedaerahan, namun juga nilai-nilai luhur yang diemban dalam operasionalisasi bank, seperti hanya nilai-nilai kebersamaan, keramahtamahan, dan nilai penting lainnya yang dianut masyarakat Yogyakarta. Kunci sukses kekuatan Bank BPD DIY sebagai bank asli Yogya justru berada pada kemampuannya merangkul nasabah.
Layanan prima yang dihargai dan dipenuhi kebutuhannya. Aplikasi kultur budaya harus mempertemukan sense of business dengan nilai tradisional masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, Bank BPD DIY harus menghadirkan dirinya sebagai bank yang nguwongake (menghargai orang lain), ramah, dan tidak pernah menganggap orang lain berada di "bawah". Hal ini perlu dikedepankan mengingat kebanggaan pegawai atas institusi tempatnya bekerja (apalagi bank) lebih banyak bersumber kepada atribut-atribut artifisial, seperti besarnya skala usaha bank, gedungnya yang megah, atau karena memiliki nasabah-nasabah konglomerat.
Tantangan Bank BPD DIY pun berlanjut. Saat ini, bank-bank berskala nasional asli Jakarta sedang "berpesta" memperebutkan lezatnya pasar pembiayaan mikro. Namun, saat ini "pesta" itu sedang mereda karena minimnya likuiditas sebagai akibat krisis. Bank BPD DIY sebenarnya cukup berpeluang merebut pasar mikro di wilayahnya sendiri. Dengan melihat Loan to Deposit Ratio (LDR) Bank BPD DIY yang menunjukkan angka 57,88% (posisi Oktober 2008), kondisi likuiditas Bank BPD DIY sebenarnya masih cukup aman untuk melakukan ekspansi kredit.
Karena struktur dana pihak ketiga yang dihimpun sangat khas, secara umum kondisi likuiditas BPD-BPD di seluruh Indonesia berada dalam kondisi yang sehat dan tidak terkena dampak krisis likuiditas. Kondisi likuiditas yang aman tak hanya menyediakan ruang bagi Bank BPD DIY untuk dapat tetap menggenjot kredit, namun juga masih memiliki peluang untuk memperoleh return yang kompetitif dari bentuk investasi yang lain, seperti penempatan dana antarbank atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Oleh karena itu, setelah memiliki daya dukung yang optimal terhadap ekspansi kredit ke UMKM, Bank BPD DIY perlu mengelola kesiapan sumber daya manusianya. Setiap bank sebenarnya telah memiliki kompetensi dan expertise-nya sendiri-sendiri. Seperti halnya bank-bank berskala besar yang berfokus pada sektor korporasi memiliki kompetensi pada sektor tersebut, demikian pula dengan bank yang berfokus menggarap sektor UMKM. Melakukan switching ke segmen pasar yang tidak dikuasainya membutuhkan upaya yang tidak mudah, sehingga kita banyak melihat bank yang gagal mencoba memasuki segmentasi pasar yang baru. Nah, Bank BPD DIY sebenarnya telah cukup teruji memiliki expertise untuk menekuni sektor UMKM.
Pertaruhannya sangat besar apabila bank ini harus mencoba terbuai untuk agresif dan atraktif menggarap kredit non UMKM. Apalagi kecenderungan tawaran untuk menggarap sektor usaha besar, yang tentu saja juga memiliki tingkat risiko yang besar, sangat tampak di depan mata. Untuk itulah, apabila memang Bank BPD DIY ingin mencoba menggarap pasar sektor tersebut, maka perlu prioritas untuk melakukan penggarapan sektor usaha yang mampu menjadi pendorong program pemberdayaan perekonomian daerah.
Pembiayaan infrastruktur, pembiayaan kepada dunia pendidikan, atau pembiayaan kepada fasilitas-fasilitas ekonomi yang mendukung sektor pariwisata (terutama di DIY) bisa menjadi prioritas utama proses pembelajaran penyaluran kredit berskala besar bagi Bank BPD DIY. Artinya, adanya peluang bisnis yang masih cukup besar pada sektor pendidikan dan pariwisata di Yogyakarta, memungkinkan Bank BPD DIY memiliki peran strategis dalam mendukung pembiayaannya. Walaupun sektor institusi pendidikan formal bisa saja telah mengalami "kejenuhan", bank dapat mencoba menjajaki prospek pengembangan lembaga pendidikan informal seperti lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan kejuruan dan sekolah-sekolah kejuruan yang menggarap tenaga ahli di bidang pariwisata, ekonomi kreatif, dan sebagainya.
Terakhir, sebagai sebuah institusi bisnis yang ingin selalu tumbuh berkembang secara berkelanjutan (sustainable growth), tentu saja Bank BPD DIY harus cerdas dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif segmentasi pasarnya. Pada saat berada di persimpangan jalan, sudah selayaknya Bank BPD DIY harus kembali kepada jati diri dan "khitah"-nya, sebagai bank yang setia mendampingi UMKM di Yogyakarta.
Selamat Ulang Tahun ke-47 Bank BPD DIY.
q - m. (5041-2008). *) Prof Dr Ainun Naim MBA, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Tulisan ini kerja sama Bank BPD DIY dengan KR. |
|
|
|