|
|
|
|
|
|

|
This Week
|
9540 |
This Month
|
25471 |
Total
|
2458891 |
|
|
|
Berita dan Publikasi |
BPD DIY, Reform! |
Sumber: SKH Kedaulatan Rakyat |
YOGYA - (KR) RASANYA tidak berlebihan ketika menghadapi keadaan krisis yang tidak menentu ini para pelaku bisnis DIY menaruh harapan yang besar kepada Bank Pembangunan Daerah DIY untuk bisa menjadi salah satu pelopor menyelamatkan terhadap risiko krisis keuangan global saat ini.
Terutama, menyelamatkan sektor riil di mana usaha-usaha daerah eksis. Harapan yang sama juga pernah disuarakan ketika terjadi gempa bumi 2006 yang lalu, dimana puluhan ribu usaha-usaha mikro, kecil dan menengah goncang yang bahkan sampai saat ini belum juga teratasi. Bahkan kalau lebih ke belakang lagi, ketika Bom Bali mengakibatkan risiko ke UMKM DIY, ke BPD DIY juga diketuk pintunya untuk proaktif dan mengambil perannya. Dari beberapa momen tadi, sudah terjadi berbagai upaya dialog, rapat dan rencana-rencana antara perwakilan dunia usaha dan BPD DIY yang sering juga melibatkan unsur pemerintah daerah, tapi maaf hasilnya, harus dikatakan tidak memberi solusi yang diharapkan.
Kenapa mereka berharap ke BPD DIY? Para pelaku ekonomi daerah melihat BPD DIY sebagai bank milik daerahnya dan dengan demikian tentunya akan lebih cepat mengambil keputusan dibanding bank-bank yang kantor pusatnya tidak di Yogya. Sementara itu, bisa dimengerti argumentasi BPD DIY yang tidak bisa memenuhi harapan dikarenakan yang paling mendasar ruang geraknya dibatasi dengan peraturan-peraturan keberadaannya sebagai Bank Umum (dari Bank Indonesia) dan asas-asas teknis pengelolaan perbankan yang baku. Di sini tidak jauh seperti kejadian di berbagai tempat yang terkait dengan birokrasi berlangsung, prosedur menjadi panglima mengalahkan substansi.
Manajemen yang taat asas ini merupakan prestasi yang mendukung keberhasilan BPD DIY mendapat berbagai penghargaan, termasuk selama sepuluh tahun berturut-turut mendapat penghargaan sebagai bank dengan kinerja sangat baik. Ini tentu membanggakan, tapi di sisi lain apakah kinerja tadi juga berdampak besar atas peningkatan pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah seperti yang diamanatkan ketika BPD DIY didirikan di tahun 1961 yang lalu?
Di luar pengelolaan dana dari belanja negara (APBN/APBD), sudahkah BPD DIY mempunyai perhatian dan mencadangkan pelayanannya di kegiatan ekonomi lain, seperti konsumsi, ekspor atau investasi? Terutama lagi ke sektor-sektor usaha yang menjadi unggulan DIY, seperti: Pertanian, Pendidikan, Pariwisata dan Industri Rakyat. Tampaknya, belum maksimal tertangani, atau belum menjadi prioritas operasionalnya. Dengan kata lain, kinerja yang sudah dicapai lewat berbagai penghargaan yang sudah diterima BPD DIY selama ini akan lebih sempurna kalau juga diukur dengan Visi dan Misi BPD DIY yang sudah dimiliki.
Sebagai Bank, BPD DIY yang memasuki usia ke-47 tahun, dengan pengalamannya tentu mampu melihat lebih dalam perubahan di lingkungan bisnis perbankan, lebih luas lagi perekonomian dunia yang sedang terjadi. Terutama bagi dinamika yang terjadi dalam kegiatan ekonomi di daerahnya. Bank adalah bisnis, yang berhadapan dengan iklim kompetisi yang ketat dan perubahan model-model perdagangan jasa-jasa keuangan secara cepat pula.
Dalam konteks ini, memang menjadi tantangan BPD DIY untuk melengkapi kemampuan modal, kelembagaan, sumber daya manusia dan teknologi untuk bisa mencapai standar untuk mampu bersaing dengan kompetitor yang ada.
Oleh sebab itu, sebenarnya kedudukan BPD DIY mempunyai kekhususan yang lain dibanding bank-bank lain, yaitu BPD merupakan salah satu kelengkapan dari otonomi daerah. Artinya, di samping kedudukannya sebagai bank umum yang harus beroperasi sebagaimana diatur juga mempunyai hak-hak serta kewajiban yang terkait dalam urusan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di DIY.
Kewajiban politik tadi harusnya ditanggapi dengan memberi akses yang lebih besar untuk mengelola sumber-sumber dana milik daerah, atau yang terkait dengan kepentingan publik di daerah. Misalnya dana-dana bantuan atau hibah dari pihak ketiga untuk penyaluran di DIY sewajarnya dipercayakan kepada BPD DIY. Artinya dengan penguatan modal dapat dipastikan akan tersalurkan bagi pelaku atau masyarakat di DIY.
Meletakkan kembali BPD DIY sebagai pelaku penting dalam pembangunan di daerah sudah terwacana bersamaan adanya ide pembentukan Bank Pembangunan Indonesia yang baru. Sebagai lembaga keuangan yang memberi kredit jangka panjang untuk program-program pembangunan. Pikiran ini perlu dikaji dan dicari dalam format apa BPD DIY dimungkinkan melakukan peran tersebut.
Perubahan menjadi perseroan terbatas yang sudah lama didorong, saat ini harusnya terlaksana, karena status yang ada selama ini sering menjadi kendala operasional yang berkaitan langsung dalam peningkatan kinerja bank. Membangun jaringan yang lebih luas, sumber-sumber dana, jasa-jasa baru dan permodalan dengan pihak ketiga membutuhkan kepastian dan keamanan hukum, di samping kecepatan proses.
Jadi tepat apa yang ditegaskan Gubernur DIY pada pelantikan Direktur Utama yang baru dari BPD DIY agar persoalan perubahan ke perseroan terbatas di samping status bank devisa menjadi prioritas tugas.
Sungguh sulit dimengerti kalau para pelaku perajin dan usaha-usaha mikro, kecil dan menengah di DIY dari tahun ke tahun selalu meningkat (ekspor 130 juta USD per tahun), dengan destinasi lebih 200 tujuan ditambah lagi status Bandara Adisutjipto yang telah mempunyai akses internasional BPD DIY belum menjadi Bank Devisa.
Oleh sebab itu, status Bank Devisa menjadi catatan penting BPD DIY.
Keberadaan UKM Center, menjadi keyakinan baru bahwa BPD DIY menuju langkah yang diharapkan masyarakat DIY. UKM Center bukan sebatas fasilitas fisik, gedung atau ruangan, namun merupakan instrumen pendampingan yang bermanfaat kepada para UMKM di DIY. Hal ini, tidak saja menjadi "Yang Terbaik" tapi juga dicintai, dan membawa pelaku UMKM DIY berkembang.
q - g. (5042-2008).
*) Robby Kusumaharta, Ketua Badan Pengembangan Perdagangan dan
Jasa Keuangan (BP2JK) Yogyakarta |
|
|
|